Kampus-kampus Mulai Bersuara Kritis

Pernyataan sikap Guru Besar UI terkait kondisi politik Indonesia. (Foto: YouTube)
Pernyataan sikap Guru Besar UI terkait kondisi politik Indonesia. (Foto: YouTube)

RM.id  Rakyat Merdeka – Akademisi dari kampus-kampus ternama di Indonesia mulai bersuara kritis menyikapi situasi politik jelang Pemilu yang dinilai tidak baik-baik saja. Secara bergantian, mereka menyuarakan keprihatinannya.

Kritikan pertama disampaikan sekelompok guru besar, dosen, mahasiswa, hingga alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu (31/1/2024). Mereka membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM. 

Dalam petisinya, mereka menyinggung soal pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, serta pernyataan Jokowi yang membolehkan presiden hingga menteri berkampanye.

Keesokan harinya, Kamis (1/2/2024), giliran civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) yang membacakan kritiknya. Mereka membaca kritiknya di halaman Auditorium Kahar Muzakir. Rektor UII, Prof. Fathul Wahid turun langsung membacakan kritikannya kepada Pemerintahan Jokowi.

Salah satu yang jadi sorotan adalah mengenai pencalonan anak Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Mereka menilai karpet ‘merah’ Gibran sengaja disediakan dengan dikabulkan uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas umur capres-cawapres. 

Pada Jumat (2/2/2024), giliran civitas akademika Universitas Indonesia (UI) yang bersikap kritis. Mereka menyampaikan ‘Seruan Kebangsaan’ kepada Pemerintah Jokowi. 

Gerakan atas nama Keluarga Besar UI itu menyampaikan keprihatinan atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi. Serta hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat karena dihiasi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Apa tanggapan Jokowi soal mulai bermunculannya guru-guru besar kampus yang menyatakan sikapnya soal Pilpres? Jokowi mempersilahkan, semua pihak untuk menyampaikan pendapatnya. Sebagai negara demokrasi, mantan Wali Kota Solo ini tidak akan mempermasalahkannya. 

“Ya itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara berpendapat. Silakan,” ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024).

Senada dikatakan Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana. Dia mengatakan, seruan maupun yang disampaikan kampus-kampus wajar terjadi di negara demokrasi. Terlebih lagi, sikap tersebut disampaikan di tahun politik jelang Pemilu 2024.

Dia menegaskan, Jokowi tidak alergi terhadap kritik dan tetap berkomitmen untuk melaksanakan prinsip demokrasi sesuai nilai Pancasila dan koridor konstitusi. “Bapak Presiden juga telah menegaskan freedom of speech adalah hak demokrasi. Kritik adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita,” ujar Ari di Jakarta, Jumat (2/2/2024).

Ari menambahkan, perbedaan pilihan dalam dunia politik memang sering menimbulkan pertarungan opini. Bahkan, dia menyebut, akhir-akhir ini banyak orkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. 

“Strategi seperti itu sah saja, tapi baiknya kontestasi politik termasuk pertarungan opini harus dibangun dalam kultur dialog yang sehat,” pungkas Ari.

Lalu apa kata pakar hukum tata negara? Guru Besar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie menilai, kritikan yang disampaikan sejumlah kampus merupakan riak-riak dinamika menuju Pilpres yang tinggal menghitung hari. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, hal tersebut antara lain dipicu oleh hasil sejumlah lembaga survei yang menampilkan elektabilitas pasangan Capres dan Cawapres. 

“Maka bermunculan inisiatif dari masing-masing pendukung dan para pembenci paslon lain untuk tampil, karena khawatir hasil survei-survei itu memang akan jadi kenyataan. Padahal belum tentu,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, Jumat (2/1/2024).

Selain itu, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Islam (ICMI) ini mengatakan, ada sejumlah pemicu aksi kritik yang selama ini kerap disuarakan kepada Jokowi. Antara lain, posisi Jokowi dalam kontestasi Pemilu yang dianggap condong ke paslon tertentu, hingga persoalan etika dan politik dinasti.

Menurutnya, hal ini dapat menjadi ajang koreksi buat pemerintah dalam membangun sistem politik yang lebih matang. “Setidaknya kita dapat mengarahkan upaya yang terarah untuk modernisasi politik dan penataan sistem etika berbangsa dan bernegara dengan dukungan yang semakin massif dari kaum elite intelektual, terutama dari kampus-kampus,” pungkasnya. https://akuitwet.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*